CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 13 November 2010

Investasi Emas Pegadaian

Harga emas yang terus meningkat menjadikan logam mulia tersebut menjadi salah satu primadona investasi. Apalagi, saat ini investasi di pasar modal masih penuh ketidakpastian, sehingga emas menjadi salah satu komoditas investasi yang menjanjikan.

Ada anggapan bahwa bila investor sudah memiliki saham, obligasi, reksa dana dan properti maka ia telah terdiversifikasi, akan tetapi apabila logam mulia : emas dan perak, dll belum masuk dalam portofolio investasi mereka, maka mereka sesungguhnya belum benar-benar terdiversifikasi. Seorang Investor yang sukses adalah investor yang memilih secara tepat instrumen investasi unggulan, dan membeli dengan harga murah dan meraih keuntungan manakala harganya naik secara signifikan. Biarpun logam mulia belum terjangkau radar investasi pada investor kebanyakan, sesungguhnya logam mulia mempunyai potensi tambah hasil yang cukup baik di masa depan. Memang logam mulia bersifat defensif yaitu untuk melindungi dari perekonomian yang memburuk. Tapi logam mulia juga bisa ofensif untuk mencari keuntungan tinggi melalui spekulasi. Memang lebih disarankan, investor menggunakan logam mulia untuk yang lebih bersifat defensif atau lindung nilai dibandingkan dengan yang infensif.

Belakangan ini, popularitas logam mulia kembali menanjak ditandai dengan naiknya harga logam mulia yang tinggi, dimana mata uang dollar dalam keadaan turun. Sebagian dari mata uang tersebut bahkan mencapai titik terendah sepanjang sejarahnya. Terlebih lagi, pemburukan ekonomi yang terjadi di sejumlah negara di dunia membuat performa logam mulia seperti emas menjadi makin menggila harganya.

Dalam sistem transaksi produk mulia, Pegadaian berperan menjadi lembaga yang mengucurkan pembiayaan bagi nasabah yang ingin berinvestasi. Nasabah hanya berkewajiban membayar uang muka yang disesuaikan dengan besaran investasi yang dikehendaki, mulai dari 5 gram. Sisanya, bisa dicicil maksimal tiga tahun.

Nasabah investasi emas tidak dibebani bunga pembiayaan karena merupakan produk Syariah. Mereka hanya diwajibkan membayar margin rata-rata 1% dari sisa investasi yang belum dibayar.

Tahun 2008 Manajemen Pegadaian Syariah mengeluarkan Produk Investasi Emas bernama MULIA (Murabahah Emas Logam Mulia). Jadikan instrumen ini sebagai ketahanan ekonomi di masyarakat dan jadikan Pegadaian Syariah sebagai miniatur Bank Central Masyarakat yang nyaman.

Dengan berbagai kemudahan yang telah ditawarkan oleh Pegadaian angka kenaikan investasi emas masih di rasa kurang, ada beberapa hal yang mempengaruhi seseorang berinvestasi emas antara lain faktor budaya, kondisi ekonomi, dan kondisi politik.

Rabu, 30 Juni 2010

Mahalnya Biaya dan Susahnya Menyekolahkan Anak

Tahun ajaran baru 2010/2011 telah dimulai, seleksi masuk baik dari TK-- Perguruan Tinggi tengah berlangsung dan sebagian besar telah pula merampungkan prosesnya. Sebagian anak dan orang tua telah pula merasa lega karena telah berhasil masuk ke tempat pendidikan yang diidamkanya, namun tak kurang lebih dari separo anak dan orang tua yang masih merasa resah karena belum tahu harus kemana mereka menuntut ilmu.
Persoalanya mungkin sederhana, sekolah dan perguruan negeri tak mampu lagi menampung jumlah siswa yang membludak, masih ada sekolah dan perhuruan tinggi swasta yang bisa menampung mereka. Namun akan menjadi rumit apabila kita meneropong lebih kedalam apa yang menjadi persoalan baik siswa, orang tua, institusi pendidikan maupun pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan jajaranya.
Mari kita coba selami bersama, permasalahan pertama tentu masalah biaya. Tidak kita pungkiri untuk orang tua masalah biaya pendidikan anak adalah masalah yang terus membebani, jangankan lembaga pendidikan swasta, di negeripun beban biaya itu begitu menghimpit. Untuk tingkat SD--SLTA memang "agak" gratis karena ada dana yang dikucurkan oleh pemerintah, tapi jika kita telusuri masih banyak dana yang harus disiapkan oleh orang tua misalnya; seragam sekolah minimal 4 stel, buku dan peralatan tulis, tas, sepatu, buku LKS, kegiatan ekstra kulikuler dan lainya. Biaya itu akan membegkak bila anak kita mau dan bisa masuk ke kelas unggul, akan ada banyak biaya yang bakalan timbul. Untuk masyarakat kelas ekonomi atas hal itu pasti tak akan menjadi masalah, berbeda untuk masyarakat kita yang mayoritas hidup dengan ekonomi pas-pasan dengan anak yang tidak hanya satu saja yang sekolah tentu membuat kepala pusing tujuh keliling. Tak heran akan banyak antrian di tempat-tempat pegadaian dan perkreditan. Mereka akan berbondong-bondong menggadaikan apapun yang dimilikinya berupa harta benda tak terkecuali SK bagi para pegawai negeri sipil.
Kondisi demikian tak akan jauh berbeda untuk mereka yang ingin masuk ke perguruan tinggi negeri. Anehnya pemerintah malah "mengikhlaskan" perguruan tinggi-perguruan tinggi ini menjelma menjadi lembaga bisnis, tidak terang-terangan memang tapi terlihat nyata dengan menyediakan beberapa jalur masuk yang bukan meringankan calon mahasiswa dan orang tuanya, justru tambah membebani mereka, bagaimana tidak untuk ikut mendaftar salah satu jalur saja mereka dibebani ratusan ribu bagaimana jika ikut 4, 5, atau lebih, jutaan juga biaya yang harus dikeluarkan.
Bayangkan untuk satu bangku di Fakultas Kedokteran Umum Universitas Padjadjaran mematok biaya minimal Rp 175 juta. Itu merupakan biaya pendidikan tertinggi yang harus dibayar di muka. Intinya hukum ekonomi berlaku. Semakin banyak peminat semakin tinggi pula harga yang dipatok. Contoh lainnya. Untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Gigi calon mahasiswa harus berani membayar minimal Rp 60 juta, Ilmu Komunikasi Rp 40 juta, dan Sastra Indonesia Rp 10 juta, dan lain-lain. Meski demikian jika dihitung peluang masuknya jalur khusus memang dibuat lebih menggiurkan ( Kompasiana, Andi G. P, 24 Juni 2010 ).
Inikah yang dimaksud oleh UUD '45 pasal Pasal 31?. (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Permasalahan selanjutnya, berada pada lembaga pendidikan itu sendiri, pemerataan sarana, tenaga pendidik dan kemampuan manajerialnya, Banyak keluhan yang dilontarkan oleh sekolah-se-
kolah didaerah tentang minimnya sarana, tenaga pendidik yang membuat mereka tak mampu bersaing dengan mereka yang di kota, sehingga mereka sepi peminat, jika pun mau masuk memang karena
terpaksa karena biayanya lebih murah dan lain sebagainya.
Permasalahan lain adalah ada semacam penghasilan musiman, walau ini selalu di bantah dan "selalu tidak terbukti", yaitu tahun ajaran baru menjadi ajang untuk bermain belakang antara orang tua yang berduit, pejabat, dengan oknum pengelola

Jumat, 21 Mei 2010

Kapan anak Negeri Ini Bernurani ?


Dunia ini memang telah sangat maju dan melesat bagai anak panah yang cepat, lugas dan terarah menuju modernitas. Bukan saja untuk negara nan telah lebih dulu maju disana tapi virus modernisasi telah pula sampai ke pelosok negeri ini. Kamula muda negeri ini tentu termasuk didalamnya.
Arus itu bagai pisau tajam yang bersisi dua dan sama-sama tajam... Tajam mengiris sisi kemajuan, membuka paradigma untuk mengisi rasa perut lapar informasi anak negeri, namun juga tak kalah pedihnya menyayat budaya, prilaku, dan nurani semua lapisan bumi pertiwi ini.
Para penguasa negeri ini mungkin salah satu yang terkena pisau itu, tajam memang pandangan itu untuk menembus, bermimpi dan menjebol dinding kemajuan, sekaligus menyayat hati melihat perhatiannya kepada budi dan pekerti anak-anaknya. Budaya, tradisi, etnik, dan keindahan yang dimiliki negeri ini terkuras hanya oleh alasan mengisi perut semata tanpa menimbang kelangsungan harga diri dan kelangsungan budaya, tradisi, etnik dan keindahan kedepan. Contoh dangkal bisa kita ambil, bagaimana sistem pendidikan negeri ini yang orientasi akhirnya adalah hasil berupa angka. Slogan-slogan tentang moral, kepribadian dan prilaku baik hanya sebatas pajangan di dinding-dinding sekolah, penerapannya jauh dari arang.
Butuh komitmen nyata bila negeri ini masih mau mempertahankan budaya ketimuranya.... Paling tidak berupa wadah untuk mempertahankan apa yang telah ada dan mengembangkannya, dengan berbagai wadah dan forum yang dihargai dan dipelototi, paling tidak mampu menyeimbangkan wadah dan forum sain yang telah mengharumkan anak muda negeri ini. Selain kejeniusan anak muda ini mereka tetap manusia yang membutuhkan isi untuk memenuhi rongga-rongga nurani mereka. Jikalau budi pekerti masih belum akan diberikan pada anak-anak muda ini biarlah mereka mempelajari sekaligus menerjemahkan dan melakukan apa yang menurut sisi kebaikan yang ada dihati mereka, dengan berkumpul, sering bertemu dan berinteraksi dalam hal positif mudah-mudahan nurani mereka akan bicara, bekerja dan bertindak untuk mempertahankan diri dari sayatan pisau modernitas..... smoga......


Senin, 05 April 2010

Negeri Diatas Awan

Kalau kita ke kab. Kerinci, Provinsi Jambi akan sangat disayangkan apabila melewatkan untuk mengunjungi daerah ini. Ya "Bukit kayangan" namanya.. kurang lebih perjalanan 30 menit dari kota sungai penuh, sayang sepanjang perjalanan hutannya telah berganti dengan semak perdu yang membuat perjalanan agak panas, tak ada lagi pohon besar di kanan kiri jalan. Perjalanan ke tempat ini sebenarnya cukup mulus walau harus ekstra hati-hati karena jalan sempit.

Kami sampai di Bukit Kayangan sekitar pukul 15.30 WIB menjelang lengsernya sang surya dibalik punggung bukit, kabut sesekali berarak menghampiri kami dan rasa dinginpun menyeruak kepori-pori kulit. Sementara memang tak tampak apa yang sebenarnya menjadi tujuan kami, tapi begitu kabut mulai bersih barulah kami semua ternganga menlihat apa yang ada di depan kami...... hemmm elok tak terkirakan, tak salah lagi mereka memberi nama, kami serasa di atas kayangan tempat para dewa-dewi bersemayam dalam cerita-cerita leluhur. Tampak oleh kami Kota Sungai Penuh walau tak sampai separo, tampak juga hamparan sawah yang menghijau dikejauhan dan tak kalah indahnya Danau Kerinci yang tenang di bawah sana.....

Tak salah lagi inilah yang diburu para pendatang untuk mencari Nikmatya Dunia di " Sekepal Tanah Surga Yang Tercampak" Semoga kami diberi kesempatan lagi untuk datang menikmatimu kembali..... Amin..

Selasa, 02 Maret 2010

Jalan Bangko Kerinci Riwayatmu Kini..

"Gilo.. parah nian, sakit palak aku kejedut atap mmobil... benjol ndak yo..???, Sorry ndak nampak pulo lobang tuch. kiroi ratolah.... heee heeee....... " itu sekelumit celotehan kami waktu ngerasoi dewek parahnyo jalan Bangko-- Kerinci.
Gambar perbaikan dan pelebaran jalan ini aku ambek waktu bulan Desember 2009 waktu nak menghadiri kawan yg nak belah duren di Kerinci....
Banyak masyarakat yg mengeluhkan kondisi jalan Provinsi ini, saling lempar tanggung jawab suatu yg biasa kita baca di surat kabar harian daerah, tanpa ada tindakan nyatadari pihak terkait... ujung-ujungnyamasyarakat yg dibuat bingung dan sengsara, kegiatan perekonomian warga jadi terhambat.
Masalah ini bukan masalah baru, bertahun-tahun kondisi ini terjadi terus-menerus, padahal jalan ini satu-satunya akses masyarakat kerinci untuk berhubungan dengan daerah lain di provinsi Jambi.. " Kalo kayak gini terus elok nian ngikut padang balek bee " kata salah satu kawan yg asli kerinci, "atau bikin bee Provinsi dewek" melanjutkan... Memang kondisi ini membuat sebagian masyarakat Kerinci merasa di anak tirikan, dan berakibat timbulnya ketidak puasan dan kegeraman terhadap para pemimpinnya.....
Dengan kerusakan yg sedemikian parah ini pasokkan hasil bumi lebih banyak di jual ke Sumbar krn lebih mudah dan dekat jaraknya.... akibatnya langsung terasa harga sayur-mayur, cabe, kentang langsung melonjak di kota Jambi....
"Kalo kayak gini terus kapan kito nak nyicip Nikmatnya Dunia dari " Bumi Sakti Alam Kerinci "...
Semoga menjadi perenungan...

Kamis, 04 Februari 2010

Inkonsistensi Seorang Intelektual ( Suara Merdeka )

SOSOK

10 Nopember 2009 | 21:13 wib
Soe Hok Gie

Inkonsistensi Seorang Intelektual

image

"Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah."


Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, kelahiran Jakarta tanggal 17 Desember 1942, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebon Jeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Soe Hok Djien adalah saudara lelaki satu-satunya yang kita kenal sebagai sosiolog Arief Budiman.

Semasa SMP, Soe Hok Gie sudah berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru, yang mengakibatkan perdebatan sehingga gurunya naik pitam.

"Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau." Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor ini, apalagi nyupir mobil. "Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak," ujarnya.

Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika Gie mulai berani mengungkit kemapanan. Saat dirinya menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. "Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, "paduka" kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang," dalam catatannya.

Tamatan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1969 ini semakin resah ketika melihat keadaan ekonomi makin kacau, ia pun mencatat "Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak. Maka lahirlah sang demonstran."

Hari-harinya diisi dengan program demo, termasuk rapat penting di sana-sini. “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya ... Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas.” Begitu tulisnya.

Gie termasuk barisan paling depan di tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura. Konon, Gie juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966.

Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran ... Jakarta, 25 Januari 1966.

John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis, "Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas."

Hasrat Gie terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental "asal bapak senang", serta "yes men", atau sudah pasrah.

Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Gie akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa." Demikian tulis Maxwell.

Gie memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Gie ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.

Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan "falsafahnya", kala mengajak seseorang mendaki gunung. "Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di Pulau Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di Pulau Jawa ini," kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 40 tahun lalu.

Gie yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan "Cina Kecil", memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata "sakti" filsuf asing. Seperti tulisan tanggal 22 Januari 1962, "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Gie memang sudah merencanakan sejak dari Jakarta akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Tak disangka lagu spiritual Negro, Nobody Knows menjadi lagu di malam terakhir menjelang hari ultahnya dan dinyanyikan bersama-sama lebih tepatnya tujuh orang dalam tenda di tepi hutan Cemoro Kandang.

"Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru ... Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat." Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Tanpa terasa sudah empat dasawarsa meninggalkan bangsa ini sejak Orde Baru tepatnya tanggal 16 Desember 1969, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak G. Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis.

Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

(berbagai sumber/Nv@)

Rabu, 20 Januari 2010

Menyelamatkan Padi

Petani Desa Tanjang, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menyelamatkan tanaman padi mereka dengan menggunakan perahu setelah terendam banjir, Rabu (20/1). Banjir yang merendam area persawahan seluas lebih kurang 3.000 hektar tersebut disebabkan meluapnya Sungai Juwana.
Ingat perjuangan dulu... sama persis..... Banjir bagi kami bukan lagi sesuatu yg aneh.., yang aneh tak ada perhatian pemerintah untuk mengatasi masalah ini secara tuntas... Waduk Gajah mungkur nggak pernah dikeruk lagi, kali silugonggo ( juwana ) apa lagi, mereka yg ada di pemerintah baik Kab. Pati, Prov. Ja-teng, apalagi Pusat selalu berkalkulasi tentang biaya yg mesti dikeluarkan untuk menolong rakyatnya sangat besar... mungkin ratusan milyar.... tapi mereka tak pernah menghitung dan mengkalkulasikan berapa kerugian rakyatnya akibat banjir ini.. saya pikir jauh lebih besar... dan itu terjadi setiap tahunya.... dari

Senin, 18 Januari 2010

Desa Wisata Pelengkap Warisan Budaya

Desa Wisata Pelengkap Warisan Budaya
Sabtu, 16 Januari 2010 | 03:02 WIB

Timbuktu Harthana


Target Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi adalah membawa Candi Muaro Jambi masuk dalam daftar warisan dunia (world heritage list) menyusul Candi Borobudur dan Prambanan, yang 19 tahun lebih awal telah tercatat di daftar itu. Perlahan, kawasan di sekitarnya mulai dibenahi dan disiapkan menjadi desa wisata, dengan harapan cita-cita besar tersebut segera tercapai. Setidaknya, Candi Muaro Jambi harus bersaing dengan kampung Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan sistem subak di Bali yang telah masuk dalam daftar sementara Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yang menilai dan menetapkan sebuah situs layak disebut sebagai warisan dunia. Untuk itu, butuh kerja keras dosir (berkas dan dokumen) tentang Candi Muaro Jambi yang dibuat Pemerintah Provinsi Jambi bersama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, akhir tahun 2009, untuk mampu meyakinkan UNESCO.

Selain itu, banyak hal yang harus disiapkan agar itu terwujud. Salah satunya adalah menata masyarakat sekitar candi supaya lebih peduli dan memanfaatkan Candi Muaro Jambi sebagai bagian dari kegiatan hidup mereka. ”Kami menargetkan, tahun 2015 Candi Muaro Jambi sudah masuk sebagai warisan dunia,” ujar Agus Widiatmoko dari Bagian Publikasi dan Dokumentasi BP3 Jambi.

Sebagai kompleks percandian kuno sisa peninggalan masa keemasan agama Buddha di Nusantara, sekitar abad VII-XIV, Candi Muaro Jambi menyimpan keagungan budaya yang belum tergali. Lebih-lebih kehidupan masyarakatnya, yang kaya nilai-nilai kegotongroyongan, kepedulian sosial, dan kebersamaan. Bahkan, senyum ramah warga Desa Muaro Jambi, desa terdekat dengan kompleks candi, merupakan modal kuat desa tersebut menjadi desa wisata.

Berjarak 35 kilometer arah utara Kota Jambi, atau 45 menit jika ditempuh dengan kendaraan bermotor melewati jalan darat, Candi Muaro Jambi ternyata bisa diakses lewat jalur Sungai Batanghari.

Menggunakan perahu ketek, dari kawasan wisata Tanggo Rajo di pusat Kota Jambi, waktu tempuhnya tak lebih dari 30 menit. Jika ingin merasakan budaya sungai masyarakat Jambi, rute Batanghari bisa menjadi pilihan. Ongkosnya sekitar Rp 200.000-Rp 250.000 per perahu ketek untuk 10-15 orang.

Tidak seperti tiga empat tahun lalu, sekarang ini jalan menuju Candi Muaro Jambi semuanya beraspal. Rute menuju ke candi pun banyak pilihan, yakni melalui daerah Olakkemang, sembari mampir ke pusat perajin batik khas Jambi, atau melalui rute lama, lewat Sengeti. Lebih disarankan lewat rute Olakkemang karena bakal banyak dijumpai rumah panggung berarsitektur kuno dengan ukiran kayu Jambi lama. Tentunya menarik sekali untuk diabadikan dengan kamera foto atau direkam dengan kamera video.

Masuk ke kawasan kompleks percandian, beberapa pemuda desa di pos keamanan menyapa ramah para pengunjung yang datang. Gaya mereka santai, tetapi tetap sopan. Di antaranya adalah Brata dan Abdul Haviz yang tergabung dalam Paguyuban Pemuda Candi Muaro Jambi (PPCMJ). Mereka siap menjadi pemandu bagi wisatawan yang haus informasi tentang candi. Mereka juga mitra dari BP3 Jambi, yang secara tak langsung menjadi garda depan pelestarian candi.

Biasanya, pemandu akan mengantar wisatawan keliling ke lokasi-lokasi candi yang telah dipugar, seperti Candi Gumpung, Candi Tinggi, dan Tinggi I, Candi Kembar Batu, Candi Gedong, hingga ke Candi Astano. Pastinya sedikit melelahkan, apalagi di tengah hari yang terik. Sebab, jarak antarcandi sekitar 200-400 meter dan itu harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan setapak bersemen selebar 1 meter.

Dalam perjalanan menyusuri candi dan menapo yang mengubur reruntuhan candi akan dijumpai sejumlah masyarakat desa yang memiliki kebun buah- buahan di sekitar candi. Pohon durian, rambutan, dan duku paling banyak ditanam di sana. Buah duku Jambi yang berukuran besar dan berasa manis itu kebanyakan dikirim ke Jakarta dan dijual dengan label duku Palembang. Maklum, duku Palembang sudah punya nama, sedangkan duku Jambi belum dikenal orang. Padahal, rasanya sama enaknya. Sruupp....

Sinergi

Kesadaran masyarakat mengelola Candi Muaro Jambi sebagai aset pariwisata sudah membenih. Bahkan, menurut tuo tenganai (tokoh masyarakat) di Desa Muaro Jambi, Adam Huri (63), sebagian warga berkeinginan sektor pariwisata Candi Muaro Jambi dikelola bersama pemerintah daerah dan masyarakat desa sekitar kompleks candi. Harapannya, tidak ada warga yang tergusur dari tanah mereka, tetapi warga malah diajak mengelola dan menciptakan fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata.

Adam yang juga mantan guru meminta masyarakat jangan sampai digusur atau hanya sebagai penonton. ”Kami tidak mau seperti kasus warga di sekitar Candi Borobudur yang terabaikan. Masyarakat harus diberdayakan,” kata Adam.

Misalnya, menjadikan bekas pemilik lahan menapo sebagai juru pelihara candi. Sejumlah warga juga mulai menyulap rumahnya menjadi rumah inap (home stay) bagi wisatawan yang ingin bermalam dan mengenal kehidupan penduduk lokal Muaro Jambi. Tarifnya sekitar Rp 250.000 per malam.

Abdul Havis yang biasa disapa Ahok menambahkan, PPCMJ terus mencari model-model kegiatan wisata untuk menarik masyarakat mengunjungi Candi Muaro Jambi. Mulai dari mengundang siswa SD di Kabupaten Muaro Jambi agar mereka bisa bercerita kepada keluarganya di rumah hingga gagasan wisata berburu durian. Paket wisata berburu dan menunggu durian runtuh itu terbilang sederhana, tetapi banyak wisatawan asing yang ternyata suka melakukannya.

Ada dua pondok berbentuk rumah panggung sederhana berukuran 4 x 5 meter yang disiapkan, beserta toilet sederhana, bagi turis yang ingin bermalam di kebun menunggui durian jatuh. ”Turis asing suka mendengar bunyi durian yang jatuh, buukk..., tetapi kalau makan durian, mereka tidak doyan,” kata Ahok.

Soal promosi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi terbilang getol menawarkan Candi Muaro Jambi sebagai obyek wisata unggulannya. Tiap pameran pariwisata sampai kerja sama dengan biro perjalanan wisata juga telah digagas. Kini, kunjungan wisatawan di candi ini mencapai 600 orang per bulan dari yang sebelumnya di bawah 500 orang per bulan. Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi Guntur mengatakan, tamu dinas ataupun swasta yang datang ke Kota Jambi pasti diajaknya ke kompleks percandian.

Mempertahankan tradisi

Gagasan desa wisata tampaknya cocok dikembangkan di perkampungan di sekitar Candi Muaro Jambi. Sebab, perkampungan di pinggir Sungai Batanghari ini masih menyisakan beberapa rumah panggung berarsitektur Jambi lawas, termasuk menyediakan perahu sebagai alat transportasi terpenting mereka saat Sungai Batanghari banjir. Bagi orang luar Jambi, hal ini adalah daya tarik yang tak pernah mereka dapati saban hari.

Tradisi gotong royong tetap terjaga sampai sekarang, mulai dari mengadakan pesta pernikahan, melakukan panen raya, sampai mengurus pemakaman. Jika salah satu keluarga menggelar acara pernikahan, tiap warga desa wajib menjadi panitianya. Entah sebagai juru masak atau hanya sebagai penjemput piring yang dipinjam dari kampung tetangga. Semuanya harus terlibat.

Saat ada warga yang meninggal, keluarga yang ditinggalkan tak perlu repot memikirkan prosesi pemakaman karena semuanya diurus oleh persatuan kematian. Warga yang datang melayat umumnya menolak jika disuguhi makanan dan minuman, sebagai bentuk belasungkawa mereka. Seperti adat di Jawa, para betina, sebutan bagi perempuan Jambi, membawa beras satu kaleng susu, sedangkan kaum jantannya (laki-laki) biasanya menyumbang uang secara sukarela.

Tradisi ini pun mutlak berlaku bagi pendatang yang menetap di desa mereka. ”Dimano tembilang tercacak, di situ tanam tumbuh. (Maksudnya, di mana kita tinggal, kita harus mengikuti tradisi yang berlaku),” kata Adam Huri yang memberi gambaran tradisi masyarakat desanya yang berbenah menjadi desa wisata, seperti desa wisata yang menjamur di Yogyakarta dan Bali.